Dana Rp 23 Triliun Cair, Konstruksi PLTU Cirebon 1.000 MW Dikebut

11/05/2017

Tidak berkategori

Jakarta - Satu lagi proyek penyediaan listrik dalam program listrik 35.000 MW segera terealisasi, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon berkapasitas 1.000 MW. Pekerjaan Konstruksi PLTU di Cirebon tersebut siap dikebut ditandai dengan penandatanganan perjanjian pembiayaan alias loan agreement senilai US$ 1,74 miliar atau sekitar Rp 23 triliun.

Penandatanganan tersebut dilakukan pada akhir bulan lalu antara konsorsium multi nasional Cirebon Power dengan 3 lembaga keuangan yaitu JBIC (Japan Bank for International Cooperation), KEXIM (Korea Eximbank) dan NEXI (Nippon Export and Investment Insurance) untuk Proyek Ekspansi Cirebon Power Unit 2 ("Ekspansi Cirebon Power").

"Penandatanganan Perjanjian Pembiayaan ini merupakan tonggak penting bagi penyelesaian Ekspansi Cirebon Power, dengan kapasitas 1 x 1000 MW dan total nilai investasi US$ 2,2 Miliar," kata Heru Dewanto selaku Presiden Direktur Cirebon Electric Power, dalam keterangan tertulis Kamis (11/5/2017).

Ia menyebut, sebelumnya juga telah dilakukan Perjanjian Jual Beli Tenaga LIstrik/PJBTL (Power Purchase Agreement/PPA) Ekspansi Cirebon Power yakni pada tanggal 23 Oktober 2015 antara PLN dan Cirebon Power sebagai pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).

Pekerjaan konstruksi PLTU ini sebenarnya telah dimulai sejak tanggal 31 Maret 2016, dengan penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) Terbatas kepada Kontraktor EPC yang dipimpin oleh HDEC (Hyundai Engineering Corporation).

Namun dengan adanya penandatanganan terkait pembiayaan ini, maka proses pekerjaan konstruksi bisa dikebut.

"Penandatangan Perjanjian Pembiayaan ini menunjukkan penuntasan skema pembiayaan proyek secara menyeluruh," sambung Heru.

Heru menambahkan, proyek akan menerima pencairan dana dalam waktu dekat, segera setelah itu SPK lengkap kepada kontraktor EPC akan diterbitkan untuk mempercepat konstruksi proyek.

"Dengan dukungan pendanaan dan kemampuan teknis yang telah teruji, kami optimistis dapat mencapai target operasional atau COD (Commercial Operation Date) sesuai target. Kami ingin bisa segera turut berkontribusi untuk menerangi nusantara," tambah dia lagi.

Cirebon Power adalah konsorsium sejumlah korporasi multi nasional, yaitu Marubeni (Jepang), Indika Energy (Indonesia), Samtan dan Komipo (Korea) dan Jera (Jepang).

Tantangan Bangun PLTU

Heru menyebutkan ada tiga tantangan besar yang bisa menghambat realiasi pembangunan PLTU di Indonesia. 

Pertama, masalah pembiayaan. Secara global investor yang maau mendanai proyek listrik batubara semakin sedikit.

Karena, investor juga banyak mendapat tekanan agar tidak menyalurkan pembiayaan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara. Amerika dan negara negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga menolak mendanai PLTU, kecuali yang masih menggunakan teknologi batubara bersih.

"Hanya Jepang, Korea dan China yang masih mau membiayai proyek listrik batubara," terang Heru

Kedua, banyaknya regulasi terkait proyek listrik. Dalam empat tahun terakhir saja tercatat ada 112 regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Contohnya, mencontohkan, kebijakan pemerintah tetang pembangkit listrik di sumber energi atau mulut tambang.

"Kami sepakat dengan kebijakan mendekatakan pembangkit dengan sumber energinya, tapi ada konsekuensi yakni transmisi dan distribusi listrik menjadi lebih panjang dari sebelumnya," terangnya.

Tantangan ketiga adalah, isu lingkungan yang semakin kencang terhdap proyek listrik batubara. Pengembangan PLTU ini merupakan kebijakan pemerintah, yang mana faktanya sumber energi kita masih tergantung pada bahan baku batubara.

Artinya, pihak-pihak terkait harus memikirkan bagaimana solusi dari tantangan lingkungan ini agar target elektrifikasi tidak terganggu.

Heru menambahkan, dengan teknologi ultra super critical, sebetulnya persoalan lingkungan ini bisa diselasikan. "Sebab, secara ilmiah teknologi batubara bersih bisa dibilang ramah lingkungan," pungkas Heru. (dna/hns)