Milih Tol Itu Seperti Memilih Jodoh

20/07/2017

Tidak berkategori

Jakarta - Selama hampir 15 tahun berdiri, PT Asratel Nusantara atau Astra Infra telah melebarkan sayap di bisnis telekomunikasi, jalan tol, air bersih, hingga pelabuhan dan pusat logistik berikat. Jalan tol saat ini menjadi sektor andalan anak usaha PT Astra International Tbk. tersebut. Astra Infra bahkan memiliki target cukup ambisius, yaitu mengembangan 500 kilometer jalan tol pada 2020. Apa strategi perseroan mencapai target tersebut, berikut ini wawancara Bisnis dengan Direktur Astra Infra Nusantara. Wiwiek Santoso, belum lama ini.

Bagaimana awal mulanya Astra mengembangkan bisnisnya di sektor infrastruktur?

Beberapa tahun terakhir kami fokus ke dua anak bungsu, yaitu infrastruktur dan properti. Propertinya masih imut-imu, tahun depan baru rencananya launching Menara Astra. Untuk infrastruktur, Astra cukup lama mati suri. Awalnya kami berkecimpung di telekomunikasi, dulu ada KSO (kerja sama operasi) fixed line tahun 1993, makanya namanya Astrael, Astra telekomunikasi.

Kemudian baru masuk ke bisnis infrastruktur 2004-2005, pertama kali kami akuisisi jalan tol Tanggerang Merak yang waktu itu masih tol "jadi-jadian", banyak kerusakan, lalu kami perbaiki. Baru setelahnya masuk air bersih lewat Palyja (PAM Lyonaisse Jaya), ada pelabuhan dan pusat logistik berikat di Kalimantan Timur dan akhir-akhir ini semakin banyak jalan tol yang di kelola. Setelah lebih banyak tol yang kami kelola, belakangan banyak yang tanya kok namanya masih Astratel. Jadi, tahun lalu kami mengubah logo dan branding kami menjadi Astra Infra.

Berapa kilometer jalan tol yang dikelola Astra Infra saat ini?

Kami memiliki enam ruas jalan tol dengan panjang 352,6 kilometer dan yang telah beroperasi sepanjang 231 kilometer. Yang sudah beroperasi penuh baru Tanggerang-Merak dan Cipali(Cikopo-Palimanan) yang kami baru akuisisi kemarin. Target kami memiliki 500 kilometer jalan tol pada 2020.

Apa yang menjadi fokus perseroan pada semester kedua tahun ini?

Tahun ini kami fokus menyelesaikan tol yang dimiliki seperti Jombang-Mojokerto. Baru setengah yang beroperasi. Di trans Marga Jateng, (pengelola) tol Semarang-Solo juga baru setengah yang peroperasi dari Semarang-Bawen. Seksi selanjutna Bawen-Salatiga menunggu layak operasi.

Bagaimana dukungan pemerintah terhadap pembangunan jalan tol?

Sekarang ini lebih tinggi support-nya, sudah lebih baik. Dari dulu lahan ini menjadi masalah klasik, tetapi sekarang kami sangat merasakan pemerintah benar-benar berusaha menyelesaikan persoalan, terutama penyediaan tahan dengan cepat.

Dulu kalau mau ikut tender kita mesti nunggu lama dari BPJT (Badan Pengatur Jalan Tol) karena peminat kurang. Sekarang beberapa tender cepat sekali dan hampir selalu ada pemrakarsa, seperti ruas Tasikmalaya-Cilacap, misalnya. Itu menunjukkan juga gairah di sektor ini meningkat.

Saat ini pengadaan lahan tol mengandalkan dana talangan badan usaha dan pengembaliannya juga terbilang memakan waktu. Bagaimana Astra Infra menyiasati arus kas perseroan dalam hal tersebut?

Untuk dana talangan Astra sempat keluar hanya untuk Jombang-Mojokerto, tidak terlalu besar, Rp. 48 miliar. Memang belum di bayarkan lagi karena yang membayar kan institusi baru (Lembaga Manajemen Aset Nasional). Jadi, masih mencari bentuk. Untuk Serpong-Kunciran disana majority Jasa Marga. Jadi, mereka yang ambil alih dana untuk lahan. Di TMJ (Trans Marga Jateng) juga menggunakan dana talangan.

Selain lahan, tantangan apa yang dihadapi dalam mengembangkan jalan tol?

Bisnis tol ini tidak semua orang bisa, pemainnya terbatas. Bisnis ini investasi di awal besar. Pengembaliannya juga lama dan pelan-pelan. 10 sampai 20 tahun pertama setelah operasi itu masih bleeding.

Tol Tanggerang-Merak pada saat kami beli meskipun amburadul, sudah beroperasi full, kami lakukan perbaikan, semuanya hampir Rp. 1 triliun, terus terang tidak mudah kalau bukan AAstra.

Bagaimana strategi Astra Infra mencapat target 500 kilometer pada 2020? Apakah akan memprakarsai ruas tol baru?

Ke depannya dalam jangka panjang mungkin saja, tetapi untuk 1 tahun sampai 2 tahun ke depan belum akan masuk lagi pemrakarsa, setelah Serpong-Balaraja. Kenapa terkesan lebih banyak akuisisi? Karena banyak yang menarik dan lebih banyak tol yang di bangun.

Ini menunjukkan pembangunan jalan tol di rezim sebelumnya tidak mudah, dari tender sampai konstruksi. Misalnya, yang tol Mojokerto-Jombang, kami akuisisi dari financial investor pada 2010, tetapi bebasin lahannya baru selesai kemarin. Jadi, memang kami pilih yang aman-aman saja, yang sudah setengah jadi. Kami kan mengejar target juga. Setelah 2020 mungkin nanti lebih melihat lagi arah ke depannya. Terus terang masih agak traumatis masalah tanah.

Saat ini BUMN tol seperti Waskita dan Jasa Marga sedang menawarkan beberapa ruas tol mereka. Apakah itu menjadi peluang menarik bagi Astra Infra?

Saat ini waskita sedang masuk pasar, berkeinginan menjual tolnya. Memang ada juga yang masuk pasar kemarin dari Jasa Marga. Sekarang orang lagi recycle capital-nya untuk bangun tol karena sependek-pendeknya tol pasti bunyinya "T" (triliunan). Kami sedang mengkasi penawaran-penawaran tersebut, melakukan pendekatan, menarik atau tidak, cocok atau tidak. Milih tol itu seperti memilih jodoh, harus ada pendekatan yang intensif dulu, kalah menarik, cocok, baru kita lanjutkan.