Kontrak Baru Emiten Konstruksi BUMN Mengilap di Semester I

13/07/2017

Tidak berkategori

Jakarta - Rata-rata perolehan kontrak baru emiten konstruksi pada paruh pertama tahun ini kinclong jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Salah satunya, PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) yang kembali memimpin laju persaingan perolehan kontrak baru.

Waskita Karya mencatat total kontrak baru yang diraih hingga akhir Juni sebesar Rp32 triliun. Angka itu setara dengan 40 persen dari total target sepanjang tahun yang sebesar Rp80 triliun.

"Mayoritas dari kontrak masih dari proyek infrastruktur," ungkap Sekretaris Perusahaan Shastia Hadiafti kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/7).

Selain itu, kontrak dalam pengerjaan tembus Rp120 triliun atau meningkat 57,89 persen dari periode yang sama tahun lalu, yaitu sebesar Rp76 triliun.

PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP) malah nyaris mencapai setengah dari total target kontrak baru tahun ini. Jelang semester I 2017, kontrak baru perusahaan sebesar Rp20,1 triliun dengan target kontrak baru sebesar Rp40,6 triliun.

Direktur Keuangan PTPP Agus Purbianto menjelaskan, jumlah kontrak baru itu meningkat 42 persen dibandingkan posisi tahun lalu yang sebesar Rp14 triliun.

"Jadi, pencapaian pertengahan semester I tahun lalu sekitar 40 persen dari pencapaian akhir tahun lalu yang Rp31,8 triliun," terang Agus.

Sementara itu, total kontrak baru PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) setara dengan 45,13 persen atau sebesar Rp19,5 triliun dari target akhir tahun Rp43,25 triliun. Mayoritas raihan kontrak baru berasal dari proyek tol, yakni Rp7,9 triliun.

Menurut Sekretaris Perusahaan Puspita Anggraeni, siklus tender pada semester II umumnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan semester pertama. Sehingga, perusahaan masih optimis bisa mencapai target meski perolehan kontrak semester I belum mencapai setengah dari target.

"Karena pemberian kontrak banyak di semester 2. Jadi, ini normal," tutur Puspita.

Terakhir, PT Adhi Karya (Perero) Tbk (ADHI) yang meraih total kontrak sebesar Rp5,3 triliun hingga Mei 2017 atau sama dengan jumlah kontrak baru pada Mei tahun lalu. Realisasi itu didominasi oleh lini bisnis konstruksi dan energi sebesar 92,3 persen. 

Perusahaan menargetkan dapat meraih kontrak baru sebesar Rp21 triliun, di luar kontrak Light Rail Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek). Artinya, apabila ditambah proyek LRT, maka total target mencapai Rp42 triliun. 

Target tersebut terbilang ambisius dibandingkan dengan target perolehan kontrak baru 2016 yang hanya Rp17,9 triliun. Seperti diketahui, target total kontrak baru pada 2016 tersebut merupakan revisi dari sebelumnya yang mencapai Rp25 triliun.  

Sayangnya, meski sudah direvisi, perusahaan tetap tidak mampu mencapai target karena kontrak baru yang diperoleh hanya Rp16,5 triliun sepanjang 2016. 

Harga Saham Merosot 

Namun, raihan kontrak baru emiten konstruksi yang mengilap dari posisi tahun, nyatanya tidak serta merta membuat harga saham perusahaan bergerak positif. Alih-alih naik, mayoritas harga saham emiten konstruksi justru mengalami koreksi. 

Dalam hal ini, PTPP memimpin pelemahan mencapai 14,9 persen sepanjang semester I 2017. Pada awal tahun, harga saham PTPP berada di level Rp3.690 per saham, sedangkan 22 Juni ditutup di level Rp3.140 per saham. 

Penurunan ini diikuti oleh Waskita Karya ke level Rp2.320 per saham atau terkoreksi 8,66 persen dari posisi awal tahun di level Rp2.540 per saham. Selanjutnya, saham Wijaya Karya yang tercatat merosot 7,91 persen menjadi Rp2.210 per saham dari Rp2.400 per saham.

Beruntung, Adhi Karya berhasil bergerak positif dengan penguatan 3,86 persen sepanjang semester I. Pada akhir perdagangan bulan lalu, harga saham perusahaan ditutup di level Rp2.150 per saham.

Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menerangkan, turunnya harga saham emiten konstruksi pelat merah semester I disebabkan oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap arus kas (cash flow) emiten konstruksi. Pasalnya, arus kas tiga emiten konstruksi tercatat negatif pada akhir tahun lalu.

"Hanya PTPP yang positif. Jadi, cukup unik ketika pendapatan bertumbuh, tapi dari sisi arus kas negatif," ucap Alfred.

Hal ini mengindikasikan pembayaran proyek yang dikerjakan selama tahun lalu belum seluruhnya dibayar oleh pihak pemberi proyek. Dengan begitu, piutang yang tercatat di laporan keuangan otomatis meningkat. 

"Jadi, ternyata ada pendapatan yang naik, tapi diikuti piutang, pendapatan yang bukan cash (tunai),” jelasnya.

Oleh karena itu, perlu ada realisasi terkait peran dari pemerintah dalam hal pendanaan proyek infrastruktur tersebut. Jika tidak, maka arus kas perusahaan konstruksi bisa tambah buruk, bahkan membuat pelaku pasar mengalihkan investasinya ke emiten lain.

"Kalau ada perbaikan, pasar pelan-pelan akan berhenti khawatir," pungkasnya.