Divestasi dan Sekuritisasi sebagai Sumber Dana BUMN Konstruksi

13/06/2017

Tidak berkategori

Jakarta - Banyak yang terpukau melihat keseriusan pemerintah Jokowi memacu infrastruktur. Dalam APBN 2017 anggaran untuk proyek infrastruktur naik 20% dibandingkan dengan APBN tahun sebelumnya, dan hampir 250% dari mata anggaran yang sama, tiga tahun sebelumnya.
 
Kini tampaknya semua pihak dapat melihat dengan jelas salah satu persoalan utama ekonomi Indonesia. Infrastruktur yang memadai merupakan salah satu prasyarat mutlak agar ekonomi melaju lebih kencang.
 
Dalam World Economic Forum 2013, peringkat infrastruktur Indonesia berada di urutan ke 92 dari 144 negara. Posisi yang rendah tersebut karena kualitas pelabuhan, bandara, jalan raya dan penyediaan listrik yang buruk. Akibatnya biaya logistic sangat tinggi dan tidak kompetitif. Investasi pun terhambat. Capaian selama 2,5 tahun ini mengubah persepsi investor tentang Indonesia.
 
Mengutip publikasi KKR mutakhir, “...Indonesia has clearly emerged as one of the most attractive pure plays on our view that global capital flows will increasingly migrate towards economies with large domestic consumption”.
 
Pendanaan merupakan kendala dalam percepatan pembangunan infrastruktur. Walaupun APBN telah mengalami perubahan orientasi yang sangat signifikan, dari subsidi ke belanja modal, serta mengurangi “hura-hura” pejabat penyelenggara negara, namun ruang untuk memperbesar dana pembangunan masih sangat terbatas. Terima kasih kepada konsistensi pemerintah untuk mempertahankan defisit APBN di bawah 3% dan total utang di bawah 30% PDB.
 
Menyadari kendala itu pemerintah dengan sangat kreatif menggalakkan SMI juga memperkenalkan kerja sama pemerintah badan usaha (KPBU – PPP) dan memacu pembiayaan oleh swasta melalui proyek investasi non anggaran (PINA). Di ujung yang lain, BUMN konstruksi, sebagai ujung tombak di lapangan, juga menghadapi kendala yang sama. Dulu BUMN konstruksi seperti ADHI, WIKA, PTPP dan WSKT berpacu mencari proyek untuk mengejar target proyek setiap tahun.
 
Dengan dipacunya pembangunan infrastruktur, memperoleh proyek relatif mudah. Hal itu terlihat dari terlampauinya target perolehan proyek beberapa tahun terkahir, dengan nilai proyek yang juga makin besar. Kendala yang kritikal kini beralih pada sumber-sumber pendanaan untuk membiayai proyek-proyek yang mereka menangkan. Makin krusial bagi BUMN yang proyeknya didominasi oleh turn key projects, karena dananya baru diperoleh setelah proyek selesai. Persoalan arus kas menjadi menentukan apakah proyek bisa diselesaikan pada waktunya atau tidak.
 
Penyertaan Modal Pemerintah walaupun jumlah absolutnya makin besar, tapi dalam persentase terhadap nilai proyek, semakin kecil. Arus kas internal belum mampu berpacu dengan peningkatan nilai proyek. Sementara meningkatkan beban utang terkendala oleh gearing ratio yang sudah tinggi. Nisbah utang terhadap modal keempat BUMN di atas sudah sangat tinggi, hanya WIKA yang masih memiliki ruang gerak memadai untuk memperoleh dana melalui utang.
 
Per 31 Maret 2017, debt equity rasio masing-masing adalah sebagai berikut: WIKA 156,71%, PTPP 184,15%, WSKT 238,74% dan ADHI 268,62% (sumber: RTI). Karena itu, divestasi dan sekuritisasi tampaknya akan menjadi pilihan jalan keluar mengatasi kendala dana di masa yang akan datang.
 
Di luar kendala prosedural, peluang untuk menggali dana melalui divestasi terbuka lebar. BUMN konstruksi tersebut memiliki belasan bahkan puluhan entitas anak. Tentu tidak semua entitas anak layak dan menarik untuk ditawarkan. Selain itu, upaya menjaga status entitas anak membatasi divestasi sedemikian rupa agar BUMN tetap menjadi pemilik mayoritas dan pengendali. Namun dengan batasan itu pun peluang dana melalui divestasi sangat besar.
 
Yang bisa dimonitor dengan lengkap adalah divestasi melalui pasar modal. Divestasi BUMN selama ini sudah dilakukan dengan menjual sebagian pemilikan pada anak perusahaan, melalui mekanisme IPO. WIKA misalnya, sudah menjual saham WTON. PTPP menggiring PPRO mencari dana melalui cara yang sama. WSKT telah membawa WSBP ke BEI tahun lalu, dan sedang merencanakan menjual Waskita Toll Road (WTR) untuk memperoleh dana bagi proyek proyeknya. Divestasi yang dilakukan tanpa melalui pasar modal, tentu jauh lebih banyak dan meliputi jumlah yang lebih besar.
 
Sekadar contoh, JSMR merencanakan divestasi dengan menjual 15% saham di Trans Marga Jateng kepada PT Astratel (anak usaha ASII) dengan perkiraan harga sekitar Rp 750 miliar. Dengan transaksi itu JSMR tetap memeprtahankan mayoritas pemilikan sekitar 59% dan Astratel memperoleh peningkatan pemilikan dari 25% menjadi 40%. Lewat transaksi tersebut, JSMR diperkirakan akan memperoleh keuntungan (one off profit) sekitar Rp 500 miliar, yang saya perkirakan akan masuk laporan tahun buku 2017.
 
Selain memperoleh dana untuk ekspansi, divestasi memberikan beberapa manfaat lain. Sebut misalnya menaikkan laba bersih bila divestasi dilakukan dengan menguntungkan. Juga memperbaiki struktur modal karena ekuitas perusahaan yang meningkat. Kalau divestasi ruas tol, bila perlu dilepas total, dijadikan sebagai salah satu kegiatan operasional JSMR, maka JSMR menjelma bukan saja sebagai pembangun dan pengelola jalan tol tapi juga distributor jalan tol. Maka, hak pengelolaan jalan tol bukan lagi semata aset tetap sebagai alat menghasilkan pendapatan tapi berubah menjadi hasil produksi untuk diperdagangkan!
 
Sekuritisasi, meminjam definisi The Economic Times adalah “a process by which a company clubs its different financial assets/debts to form a consolidated financial instrument which is issued to investors. In return, the investors in such securities get interest”.
 
Dalam bahasa awam sekuritisasi adalah menjual potensi arus kas yang akan datang, untuk memperoleh arus kas saat ini. Sekuritisasi dengan demikian merupakan teknik pembiayaan dengan mengumpulkan dan mengemas sejumlah aktiva keuangan berupa piutang/tagihan yang lahir dari transaksi keuangan atau transaksi perdagangan. Aset yang dijadikan agunan biasanya merupakan asset yang kurang likuid, atau arus kasnya masuk secara berangsur-angsur dalam periode panjang.
 
Sekuritisasi mengubah aset yang tidak likuid dan tidak diperdagangkan menjadi efek yang likuid dan mudah diperjualbelikan. Dari kacamata penerbit, arus kas yang diterima berangsur-angsur dalam jangka panjang bisa diterima sekaligus di depan, sehingga cukup besar untuk ditanamkan kermbali sebagai belanja modal.
 
Di Indonesia yang telah popular adalah sekuritisasi KPR oleh BTN. Baru-baru ini saya membaca rencana PLN untuk melakukan sekuritisasi tagihan listrik sejumlah Rp 10 triliun, dengan menerbitkan KIK-EBA (Kontrak Investasi Kolektif – Efek Beragun Aset) sebagai upaya mobilisasi dana merealisasikan program pengadaan 35 GW.
 
Sekuritisasi tentu akan lebih mudah dilakukan bila arus kas yang akan datang bisa diprediksikan dengan relatif tepat seperti angsuran KPR, angsuran kredit kendaraan, tagihan pembayaran listrik dan semacam itu. Kembali mengambil JSMR sebagai ilustrasi, arus kas dari pembayaran ruas tol, walau tak setepat perkiraan tagihan KPR, namun catatan pengalaman selama bertahun-tahun tentu akan membantu perkiraan arus kas dengan realtif akurat.
 
Bahkan OJK juga sudah memfasilitasi Reksadana Penyertaan Terbatas sebagai bentuk sekuritisasi proyek-proyek yang baru dibangun. Tentu saja dibutuhkan keahlian dalam membuat prediksi arus kas bagi penerbit yang membutuhkan dana, dan risiko yang lebih besar bagi pemilik dana yang akan membeli efek produk sekuritisasi.