Tidak Ada Data Pasti Picu Pemerintah Impor Bahan Baku

Jakarta – Maraknya pembangunan infrastruktur yang digagas oleh pemerintah ternyata menyisakan permasalahan import bahan baku proyek. Hal ini terjadi akibat masih belum adanya sumber data pasti untuk mengetahui ketersediaan bahan baku infrastruktur yang ada di Indonesia.Hal ini seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Syarif Burhanuddin.

"pemerintah saat ini tidak memiliki data valid terkait ketersediaan bahan baku infrastruktur, seperti baja, besi, dan semen. Itu membuat pemerintah kesulit-an untuk menghitung berapa jumlah stok yang bisa digunakan untuk melaksanakan pembangunan. Saya yakin industri kita itu bisa memenuhi kebutuhan bahan baku infrastruktur sendiri," ujar Syarif

Karena masih tidak adanya data valid terkait jumlah bahan material, akhirnya harus mendatangkan dari luar negeri dan mengakibatkan biaya pembangunan menjadi lebih tinggi dibeberapa daerah. Syarif menyampaikan hal ini dapat dicegah dengan adanya kesinambungan dari seluruh pelaku usaha bidang konstruksi dalam menyampaikan data, tidak hanya terkait dengan jumlah tetapi juga penyebaran stok yang mereka miliki.

"Biaya bisa dikurangi, tapi kualitasnya tetap sama. Dari sisi waktu, pengerjaan juga akan berjalan lebih cepat," ucap Syarif.

Syarif juga menyampaikan untuk saat ini daerah dengan pasokan material infrastruktur terpusat dari 2 pulau besar, yakni Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Sedangkan untuk di wilayah Timur Indonesia masih dalam kekurangan dalam ketersediaan bahan baku material konstruksi tersebut.

"Akhirnya biaya untuk membangun di sana jadi lebih tinggi karena ada biaya pengiriman yang lebih besar," tutur Syarif

Salah satu dampak yang sedang dirasakan adalah ketiadaan data valid pada industri baja nasional. Hal ini mendapat catatan dari Ketua Umum Masyarakat Konstruksi Baja Indonesia (MKBI), Ken Pangestu yang menyampaikan sampai saat ini masih belum adanya komunikasi yang terjalin baik dengan pemerintah terkait hal tersebut. Ia menyampaikan hal ini mengakibatkan industri tidak memahami kuantitas pasti jumlah baja yang dibutuhkan setiap tahun untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur di Indonesia.

"Dampaknya cukup terasa. Jadi kita di industri sendiri cukup sadar perlunya pertukaran data dan informasi yang sangat penting semacam itu, untuk menghadapi revolusi industri 4.0 ini, Karena kebutuhannya belum ketahuan berapa banyak, kami tidak bisa menyiapkan dengan jumlah yang sesuai," ujar Ken

Karena hal tersebut, Ken dengan pihaknya beserta para asosasi dan stakeholder lain terkait bidang konstruksi sangat mendukung program penguatan rantai pasok di industri material konstruksi yang saat ini tengah digagas oleh Kementerian PUPR.

Ken juga menyampaikan saat ini kapasitas produksi baja nasional baru mencapai angka sekitar 16 juta ton pertahun, serta total produksi ini masih dapat dimaksimalkan lebih besar. Angka produksi ini disesuaikan dengan kapasitas permintaan pasar yang saat ini masih belum ada data pastinya.

"Mungkin saat ini (produksi baja nasional) baru mencapai 60 persen dari kapasitas, jadi belum maksimal. Karena demand-nya belum memenuhi dan belum ketahuan juga berapa-berapanya," ujar Ken.

Oleh karena itu, diperlukan nya data valid terkait ketersediaan dan kebutuhan dari material konstruksi sangatlah penting untuk meningkatkan efisiensi waktu dan biaya. Ken juga mengatakan bahwa pihaknya beserta para asosiasi dan stakeholder terkait lain siap membantu Kementerian PUPR dalam mengumpulkan data terkait ketersediaan material konstruksi.

"Dengan adanya data informasi yang sangat penting itu, maka permintaan dan kebutuhannya bisa ketahuan berapa, sehingga produsen bisa menyiapkan. Jadi ada pertukaran informasi karena selama ini baik produsen dan konsumen jalannya masing-masing," kata Ken.